Monday, November 17, 2008

Mata cipit kulit putih

Pagi itu saya berkunjung kesekolah methodist yang berlokasi di jalan pocut baren peunayong Banda Aceh. Saya melihat sekelompok siswa SMP sedang asyik bermain sepak bola dilapangan sekolah, sedangkan para siswinya lebih memilih duduk bersama temannya sambil bercanda tawa. Sekolah ini didominasi oleh warga keturunan Tionghoa, namun pendengaran saya mangkap mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi mereka daripada bahasa nenek moyangnya.

Mata saya tertuju ke arah yang lain, terlihat para orang tua sedang menunggu anaknya didepan pagar sambil menjinjing bekal makanan. Apa sih...yang mereka lakukan, saya bertanya ke "Miela", ibu dari "Eldia" siswi kelas tiga disekolah itu. " Kalau beli makan diluarkan mahal, turus juga enggak cocok dengan rasanya", wah..wah..wah... ternyata berbeda ras, berbeda pula selera makannya. Kalau soal rasa....setiap orang pasti punya pilihan sendiri, Tapi...!!! dalam dunia pendidikan tidak ada kata beda, terbukti hampir 50% guru yang mengajar disitu dari suku Aceh. Mereka saling hidup berdampingan, tak ada yang merasa sebagai minoritas atau mayoritas.

Semasa konflik dulu, kaum Tionghoa adalah salah satu kaum yang didiskriminasi oleh pihak-pihak yang enggak jelas atau sering disebut "OTK = orang yang tak dikenal". Kedaan ini membuat banyak kaum minoritas angkat kaki dari bumi Serambi Mekkah, mereka mengungsi keluar Aceh dengan alasan keamanan. Salah satunya "Elvina" gadis manis yang memilik kulit putih dan bermata cipit ini terpaksa mengungsi ke Kota Medan, "dulu ada kabar yang beredar kalau orang-orang chinese mau di bacok, di culik, karena itu saya dan saudara saya mengungsi".

MoU Helsinki menghantarkan Elvina kembali ke Aceh, hanya berbekal percaya akan MoU Elvina pulang ke Aceh dan mencoba kembali menata hidup di Kota yang pernah hancur karena bencana alam Tsunami. Gadis ini sekarang menginjak usia 23 tahun, di usianya yang sekarang iya masih merasa didiskriminasi oleh masyarakat, "biasanya kalau jalan ditempat-tempat umum banyak yang ganggu dengan bahasa china yang gak jelas gitu", karena alasan ini, Elvina lebih senang berteman dengan sesama Tionghoa.

Tapi Andi lim 25 tahun berpendapat berbeda, meskipun dalam tubuhnya mengalir darah Tionghoa, Andi tidak merasa didiskriminasi dalam lingkungannya, bahkan, ia sendiri lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang bersuku Aceh daripada sesama kaum Tionghoa, sampai-sampai label sebagai China Aceh melekat pada dirinya karena kefassihannya berbahasa Aceh dan hobinya pergi ngopi.

"Sebenarnya kaum Tionghoa tidak tertutup, tapi mungkin ada sebagian orang Tionghoa yang merasa susah untuk berbaur dilingkungan, bukannya kalau kita baik ke orang, orang juga akan baik ke-kita", tutur Andi dengan tegas disela perbincangan kami yang berlangsung satu jam lamanya.

Iklim damai Aceh juga dirasakan oleh kaum Tionghoa, sekarang mereka bisa bekerja dengan tenang tanpa harus khawatir dengan rentetan suara senjata dan dentuman bom yang seakan menina bobo-kan kita di sunyinya malam. Diakhir perbincangan saya dengan Andi, ia hanya berpesan, "warna kulit boleh berbeda tapi kita juga anak Aceh", Sementara Elvina hanya berharap, "semua orang ingin hidup damai, janganlah kita saling membedakan, mungkin tuhan menciptakan kita berbeda-beda dengan satu rahasia yang belum kita ketahui ".

[Geundeurang Damee edisi 15-dre-]

No comments: