Friday, November 13, 2009

PENYIKSAAN

Persepsi Penyiksaan

Hari Senin, 24 Agustus lalu, Departemen Kehakiman (Department of Justice) Amerika Serikat merilis sebuah laporan hasil investigasi atas badan intelegen mereka (CIA). Laporan ini terhitung mengejutkan karena memuat bagaimana metode interogasi yang dilakukan CIA terhadap para tahanan teroris yang masih penuh dengan model-model penyiksaan.

Dalam laporan tersebut ditulis, seorang tahanan Abd al-Rahim al Nashiri, diancam dengan pistol dan alat bor agar mengakui bahwa dia terlibat dalam pengeboman kapal USS Cole di tahun 2000. Al Nashiri bahkan diancam dipaksa menyaksikan ibunya atau keluarga lainnya diperkosa di depannya. Tahanan lain, Khalid Sheikh Muhammad bersaksi bahwa ia menerima ancaman dari interogator bahwa keluarganya akan dibunuh seandainya ada kejadian teror lagi di Amerika. Laporan lain juga menunjukkan bahwa ada petugas yang menekan nadi tahanan berulang-ulang yang mengakibatkan si tahanan pingsan. Di Amerika sekarang ini sedang terjadi debat, apakah agen-agen interogator CIA bisa diajukan ke pengadilan karena metode yang mereka pergunakan melanggar hak asasi manusia?



The Econimist selama tiga hari berturut-turut membuat laporan yang sangat menarik. Salah satunya adalah bagaimana persepsi masyarakat tentang penyiksaan di beberapa negara. survey dilakukan dari negara maju di Eropa dan Amerika hingga negara berkembang seperti Nigeria dan India.

Index persepsi tentang penggunaan penyiksaan bervariasi di beberapa negara. Berdasarkan survei ini, masyarakat di negara-negara paling demokratis di Eropa Barat seperti Inggris dan Spanyol adalah kelompok yang paling menolak penggunaan penyiksaan pada tingkat apa pun. Sementara di masyarakat di negara-negara besar namun tergolong miskin seperti India, Nigeria, dan Turki, cenderung lebih mentoleransi penyiksaan. Mungkin ini dipengaruhi fakta bahwa di 3 negara tersebut kekerasan masih menjadi ancaman yang serius dalam kehidupan sosial dan politik mereka. Yang cukup mengejutkan, masih menurut The Economist, persepsi ini tidak sama sekali berhubungan dengan praktik demokrasi atau non-demokrasi jika melihat dua negara "adi daya" yaitu China dan Amerika. China yang "lebih tidak demokratis" ternyata memiliki indeks toleransi yang lebih rendah terhadap penyiksaan dibandingkan dengan masyarakat Amerika.

Dasar Moral Penyiksaan?

Pertanyaannya, apakah penyiksaan merupakan sebuah usaha yang efektif untuk memenangkan sebuah perang "asimetris" seperti perang melawan teror? Apa legitimasi moral sehingga penyiksaan dapat diterima (acceptable)?

Ada sebuah makalah yang ditulis oleh Joseph Santucci, seorang Major, di United State Air Force. Menurutnya penyiksaan harus dibedakan berdasarkan tujuannya. Tujuan pertama adalah penyiksaan dengan tujuan penghukuman, yaitu sebuah penyiksaan sebagai bentuk hukuman itu sendiri yang dianggap tidak manusia, membahayakan nyawa, merendahkan harkat martabat seseorang. Kedua penyiksaan sebagai bagian dari interogasi (interrogative torture) untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang sebuah kejahatan dan tindakan pencegahan atas kemungkinan aksi kejahatan lain.

Di bulan Agustus 2002, Jaksa Agung Muda Jay S Bybee, menjawab permintaan CIA dalam penggunaan metode-metode khusus interogasi tahanan teroris, menjawab bahwa, hanya jenis-jenis tindakan yang dapat menyebabkan kesakitan badaniah yang diikuti dengan cedera fisik serius seperti kerusakan organ tubuh, ketidakseimbangan fungsi tubuh, kematian, dan penderitaan mental yang mengakibatkan gangguan psikologis dalam waktu yang cukup signifikanlah yang dapat digolongkan sebagai penyiksaan. Definisi ini seperti sengaja dibuat untuk melayani kepentingan pemerintahan Bush yang mengelola berbagai penjara rahasia CIA baik di Guantanamo atau Abu Ghraib.

Masyarakat Amerika di tengah bayang-bayang War on Terror memang menjadi lebih toleran terhadap penggunaan penyiksaan. Teror menjadi semacam "unpleasant means to a necessary end", dan mendapat justifikasinya ketika mereka mengklaim berada dalam situasi mengerikan "dire circumstance" sepeti peristiwa 9/11. Pernyataan negara bahwa mereka dalam situasi mengerikan, akan memungkinkan seorang penegak hukum -termasuk interogator- bisa bebas dari jeratan hukum kriminal jika dia bisa membuktikan sedang melakukan pelayanan terhadap keamanan negara



Penyiksaan adalah Penyakit dalam Mesin Investigasi

Beberapa pekan lalu presiden SBY di depan Kopassus menyatakan, jangan sampai kejadian seperti Petrus, penculikan aktivis, dan pembunuhan Munir terulang. Pernyataan ini menarik karena, di banyak negara terbukti bahwa penyiksaan tidak pernah menjadi metode yang efektif untuk memenangkan perang, terutama dalam sebuah perang asimetris. Sebuah perang yang tidak melibatkan dua kekuatan bersenjata. Tapi lebih merupakan sebuah perang ideologis, jenis perang yang lebih banyak terjadi di dunia akhir-akhir ini.

Kopassus rusak reputasinya karena dianggap terlibat dalam pelanggaran hak asasi kemanusiaan seperti penculikan dan penghilangan aktivis demokrasi. Tsar Peter yang Agung di Rusia paham betul bahwa agen-agen intelejen kerajaan yang sering menyiksa adalah salah satu penyabab kejatuhannya. KGB, hampir mengulang kesalahan pendahulunya di jaman Tsar ketika Uni Soviet terkoyak. Nicolae Caucesscu harus menerima akibat dari balas dendam rakyat Rumania yang sering disiksa agen-agen rahasia mereka. Kejatuhan Syah Iran dalam Revolusi 1979 salah satunya juga didorang kemarahan rakyat Iran pada agen-agen intelejen yang gemar menyiksa kelompok oposisi.
Penyiksaan adalah penyakit dalam mesin investigasi sebuah kekuasaan.

Organisasi HAM di Indonesia mengkritik masih banyaknya metode penyiksaan yang masih digunakan aparat untuk menguak kejahatan. Kritiknya adalah "menguak kejahatan dengan kejahatan". Namun sepanjang wawancara kami dengan polisi, petugas pemasyarakatan, dan para narapidana teroris di berbagai Lapas di Indonesia, umumnya mereka mengakui bahwa aparat Indonesia sangat jarang bahkan tidak pernah menggunakan metode ini untuk mengorek informasi. Indonesia, patut dipuji karena semua persidangan kasus terorisme dilakukan melalui persidangan yang bebas dan terbuka. Semua orang -tak terkecuali petugas intelejen dan pembela HAM- dapat menyaksikan semua terpidana teroris melalui persidangan yang transparan.

Beberapa pejabat keamanan di Indonesia menyebut ini sebagai "soft power". Melawan api dengan air. Memfasiltasi pertemuan narapidana teroris dengan keluarganya, memberikan pelatihan keterampilan produktif, sampai dengan memberikan bantuan modal bagi keluarga teroris adalah usaha-usaha yang tengah dilakukan untuk "de-radikalisasi". Menurut saya, metode seperti ini akan lebih menyehatkan mesin-mesin investigasi milik negara.

No comments: